Seorang muslim yang shalih, ketika membangun mahligai rumah tangga maka yang
menjadi dambaan dan cita-citanya adalah agar kehidupan rumah tangganya kelak
berjalan dengan baik, dipenuhi mawaddah wa rahmah, sarat dengan kebahagiaan,
adanya saling ta‘awun (tolong menolong), saling memahami dan saling mengerti.
Dia juga mendamba memiliki istri yang pandai memposisikan diri untuk menjadi
naungan ketenangan bagi suami dan tempat beristirahat dari ruwetnya kehidupan
di luar. Ia berharap dari rumah tangga itu kelak akan lahir anak turunannya
yang shalih yang menjadi qurratu a‘yun (penyejuk mata) baginya.
Demikian harapan demi harapan dirajutnya sambil meminta kepada Ar-Rabbul A‘la
(Allah Yang Maha Tinggi) agar dimudahkan segala urusannya.
Namun tentunya apa yang menjadi dambaan seorang muslim ini tidak akan terwujud
dengan baik terkecuali bila wanita yang dipilihnya untuk menemani hidupnya
adalah wanita shalihah. Karena hanya wanita shalihah yang dapat menjadi teman
hidup yang sebenarnya dalam suka maupun lara, yang akan membantu dan mendorong
suaminya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hanya dalam diri wanita
shalihah tertanam aqidah tauhid, akhlak yang mulia dan budi pekerti yang luhur.
Dia akan berupaya ta‘awun dengan suaminya untuk menjadikan rumah tangganya
bangunan yang kuat lagi kokoh guna menyiapkan generasi Islam yang diridhai
Ar-Rahman.
Sebaliknya, bila yang dipilih sebagai pendamping hidup adalah wanita yang tidak
terdidik dalam agama1 dan tidak berpegang dengan agama, maka dia akan menjadi
duri dalam daging dan musuh dalam selimut bagi sang suami. Akibatnya rumah
tangga selalu sarat dengan keruwetan, keributan, dan perselisihan. Istri
seperti inilah yang sering dikeluhkan oleh para suami, sampai-sampai ada di antara
mereka yang berkata: “Aku telah berbuat baik kepadanya dan memenuhi semua
haknya namun ia selalu menyakitiku.”
Duhai kiranya wanita itu tahu betapa besar hak suaminya, duhai kiranya dia tahu
akibat yang akan diperoleh dengan menyakiti dan melukai hati suaminya….! Namun
dari mana pengetahuan dan kesadaran itu akan didapatkan bila dia jauh dari
pengajaran dan bimbingan agamanya yang haq? Wallahu Al-Musta‘an.
Keutamaan wanita shalihah
Abdullah bin Amr radhiallahu 'anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam:
الدُّنْيَا مَتاَعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan2 dan sebaik-baik perhiasan dunia
adalah wanita shalihah.” (HR.
Muslim no. 1467)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar ibnul Khaththab
radhiallahu 'anhu:
أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ،
إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ
عَنْهَا حَفِظَتْهَ
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang
lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya3, bila
diperintah4 akan mentaatinya5, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga
dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam
Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)
Berkata Al-Qadhi ‘Iyyadh rahimahullah: “Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam menerangkan kepada para sahabatnya bahwa tidak berdosa mereka mengumpulkan
harta selama mereka menunaikan zakatnya, beliau memandang perlunya memberi
kabar gembira kepada mereka dengan menganjurkan mereka kepada apa yang lebih
baik dan lebih kekal yaitu istri yang shalihah yang cantik (lahir batinnya)
karena ia akan selalu bersamamu menemanimu. Bila engkau pandang menyenangkanmu,
ia tunaikan kebutuhanmu bila engkau membutuhkannya. Engkau dapat bermusyawarah
dengannya dalam perkara yang dapat membantumu dan ia akan menjaga rahasiamu.
Engkau dapat meminta bantuannya dalam keperluan-keperluanmu, ia mentaati
perintahmu dan bila engkau meninggalkannya ia akan menjaga hartamu dan
memelihara/mengasuh anak-anakmu.” (‘Aunul Ma‘bud, 5/57)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah pula bersabda:
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ
الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيُّ. وَأَرْبَعٌ مِنَ
الشّقَاءِ: الْجَارُ السّوءُ، وَاَلْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَركَبُ السُّوءُ،
وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ.
“Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (istri) yang shalihah,
tempat tinggal yang luas/ lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan
(kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu
tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak
nyaman, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban dalam Al-Mawarid hal.
302, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57 dan
Asy-Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 282)
Ketika Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, harta apakah yang sebaiknya
kita miliki?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَاناً ذَاكِرًا وَزَوْجَةً
مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الآخِرَةِ
“Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang
senantiasa berdzikir dan istri mukminah yang akan menolongmu dalam perkara
akhirat.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani
rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah no. 1505)
Cukuplah kemuliaan dan keutamaan bagi wanita shalihah dengan anjuran Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bagi lelaki yang ingin menikah untuk
mengutamakannya dari yang selainnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأََرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا
وَلِدِيْنِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya,
karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang punya
agama, engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)
Empat hal tersebut merupakan faktor penyebabdipersuntingnya seorang wanita dan
ini merupakan pengabaran berdasarkan kenyataan yang biasa terjadi di tengah
manusia, bukan suatu perintah untuk mengumpulkan perkara-perkara tersebut,
demikian kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah. Namun dzahir hadits ini
menunjukkan boleh menikahi wanita karena salah satu dari empat perkara
tersebut, akan tetapi memilih wanita karena agamanya lebih utama. (Fathul Bari,
9/164)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “(فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ), maknanya: yang sepatutnya bagi seorang yang beragama
dan memiliki muruah (adab) untuk menjadikan agama sebagai petunjuk pandangannya
dalam segala sesuatu terlebih lagi dalam suatu perkara yang akan tinggal lama
bersamanya (istri). Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
untuk mendapatkan seorang wanita yang memiliki agama di mana hal ini merupakan
puncak keinginannya.” (Fathul Bari, 9/164)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini ada anjuran untuk
berteman/ bersahabat dengan orang yang memiliki agama dalam segala sesuatu
karena ia akan mengambil manfaat dari akhlak mereka (teman yang baik tersebut),
berkah mereka, baiknya jalan mereka, dan aman dari mendapatkan kerusakan
mereka.” (Syarah Shahih Muslim, 10/52)
Sifat-sifat Istri Shalihah
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Wanita (istri) shalihah adalah yang taat lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada dikarenakan Allah telah memelihara mereka.” (An-Nisa: 34)
Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan di antara sifat wanita shalihah adalah
taat kepada Allah dan kepada suaminya dalam perkara yang ma‘ruf6 lagi
memelihara dirinya ketika suaminya tidak berada di sampingnya.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata: “Tugas seorang
istri adalah menunaikan ketaatan kepada Rabbnya dan taat kepada suaminya,
karena itulah Allah berfirman: “Wanita shalihah adalah yang taat,” yakni taat
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, “Lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada.” Yakni taat kepada suami mereka bahkan ketika suaminya tidak ada (sedang
bepergian, pen.), dia menjaga suaminya dengan menjaga dirinya dan harta
suaminya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal.177)
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghadapi permasalahan dengan
istri-istrinya sampai beliau bersumpah tidak akan mencampuri mereka selama
sebulan, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan kepada Rasul-Nya Shallallahu
'alaihi wa sallam:
عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تآئِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سآئِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا
“Jika sampai Nabi menceraikan kalian,7 mudah-mudahan Tuhannya akan memberi
ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian, muslimat,
mukminat, qanitat, taibat, ‘abidat, saihat dari kalangan janda ataupun gadis.”
(At-Tahrim: 5)
Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan beberapa sifat istri yang shalihah
yaitu:
a. Muslimat: wanita-wanita yang ikhlas (kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala),
tunduk kepada perintah Allah ta‘ala dan perintah Rasul-Nya.
b. Mukminat: wanita-wanita yang membenarkan perintah dan larangan Allah
Subhanahu wa Ta'ala
c. Qanitat: wanita-wanita yang taat
d. Taibat: wanita-wanita yang selalu bertaubat dari dosa-dosa mereka, selalu
kembali kepada perintah (perkara yang ditetapkan) Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam walaupun harus meninggalkan apa yang disenangi oleh hawa
nafsu mereka.
e. ‘Abidat: wanita-wanita yang banyak melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala (dengan mentauhidkannya karena semua yang dimaksud dengan ibadah
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur’an adalah tauhid, kata Ibnu
Abbas radhiallahu 'anhuma).
f. Saihat: wanita-wanita yang berpuasa. (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/126-127, Tafsir Ibnu
Katsir, 8/132)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا،
وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ
الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga
kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau
ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” (HR. Ahmad 1/191,
dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 660,
661)
Dari dalil-dalil yang telah disebutkan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa
sifat istri yang shalihah adalah sebagai berikut:
1. Mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mempersembahkan ibadah hanya
kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
2. Tunduk kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, terus menerus dalam
ketaatan kepada-Nya dengan banyak melakukan ibadah seperti shalat, puasa,
bersedekah, dan selainnya. Membenarkan segala perintah dan larangan Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
3. Menjauhi segala perkara yang dilarang dan menjauhi sifat-sifat yang rendah.
4. Selalu kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bertaubat kepada-Nya
sehingga lisannya senantiasa dipenuhi istighfar dan dzikir kepada-Nya.
Sebaliknya ia jauh dari perkataan yang laghwi, tidak bermanfaat dan membawa
dosa seperti dusta, ghibah, namimah, dan lainnya.
5. Menaati suami dalam perkara kebaikan bukan dalam bermaksiat kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan melaksanakan hak-hak suami sebaik-baiknya.
6. Menjaga dirinya ketika suami tidak berada di sisinya. Ia menjaga
kehormatannya dari tangan yang hendak menyentuh, dari mata yang hendak melihat,
atau dari telinga yang hendak mendengar. Demikian juga menjaga anak-anak,
rumah, dan harta suaminya.
Sifat istri shalihah lainnya bisa kita rinci berikut ini berdasarkan
dalil-dalil yang disebutkan setelahnya:
1. Penuh kasih
sayang, selalu kembali kepada suaminya dan mencari maafnya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda :
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ اَلْوَدُوْدُ
الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا، الَّتِى إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى
تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا، وَتَقُوْلُ: لاَ أَذُوقُ غَضْمًا حَتَّى
تَرْضَى
“Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni
surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada
suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan
tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum
engkau ridha.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits
Ash Shahihah, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)
2. Melayani suaminya (berkhidmat kepada suami) seperti menyiapkan makan
minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang semacamnya.
3. Menjaga rahasia-rahasia suami, lebih-lebih yang berkenaan dengan hubungan
intim antara dia dan suaminya. Asma’ bintu Yazid radhiallahu 'anha menceritakan dia
pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika itu kaum
lelaki dan wanita sedang duduk. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya:
“Barangkali ada seorang suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan
istrinya (saat berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang
mengabarkan apa yang diperbuatnya bersama suaminya?” Maka mereka semua diam
tidak ada yang menjawab. Aku (Asma) pun menjawab: “Demi Allah! Wahai
Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya, demikian
pula mereka (para suami).” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَلاَ تَفْعَلُوا، فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانِ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيْقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُوْنَ
“Jangan lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu seperti syaithan jantan
yang bertemu dengan syaitan betina di jalan, kemudian digaulinya sementara
manusia menontonnya.” (HR. Ahmad 6/456, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam
Adabuz Zafaf (hal. 63) menyatakan ada syawahid (pendukung) yang menjadikan
hadits ini shahih atau paling sedikit hasan)
4. Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di hadapan suaminya sehingga
bila suaminya memandang akan menyenangkannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ،
إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ
عَنْهَا حَفِظَتْهَ
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang
lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila
diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga
dirinya”. (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam
Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)
5. Ketika suaminya sedang berada di rumah (tidak bepergian/ safar), ia tidak
menyibukkan dirinya dengan melakukan ibadah sunnah yang dapat menghalangi
suaminya untuk istimta‘ (bernikmat-nikmat) dengannya seperti puasa, terkecuali
bila suaminya mengizinkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa (sunnah) sementara suaminya ada (tidak
sedang bepergian) kecuali dengan izinnya”. (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim
no. 1026)
6. Pandai mensyukuri pemberian dan kebaikan suami, tidak melupakan kebaikannya,
karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: “Diperlihatkan
neraka kepadaku, ternyata aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita
yang kufur.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur kepada
Allah?” Beliau menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak
mensyukuri) kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik
kepada seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat
darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku tidak
pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim
no. 907)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ
تَسْتَغْنِي عَنْهُ
“Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur kepada
suaminya padahal dia membutuhkannya.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa.
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 289)
7. Bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak menolaknya
tanpa alasan yang syar‘i, dan tidak menjauhi tempat tidur suaminya, karena ia
tahu dan takut terhadap berita Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ
فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا
حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil
istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di
langit murka terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.” (HR. Muslim no.1436)
إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ مُهَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا
الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ
“Apabila seorang istri bermalam dalam keadaan meninggalkan tempat tidur
suaminya, niscaya para malaikat melaknatnya sampai ia kembali (ke suaminya).”
(HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 1436)
Demikian yang dapat kami sebutkan dari keutamaan dan sifat-sifat istri shalihah,
mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi taufik kepada kita agar dapat
menjadi wanita yang shalihah, amin.
1 Atau ia belajar agama namun tidak mengamalkannya
2 Tempat untuk bersenang-senang (Syarah Sunan An-Nasai oleh Al-Imam As-Sindi
rahimahullah, 6/69)
3 Karena keindahan dan kecantikannya secara dzahir atau karena bagusnya
akhlaknya secara batin atau karena dia senantiasa menyibukkan dirinya untuk
taat dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala (Ta‘liq Sunan Ibnu Majah,
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitabun Nikah, bab Afdhalun Nisa, 1/596, ‘Aunul
Ma‘bud, 5/56)
4 Dengan perkara syar‘i atau perkara biasa (‘Aunul Ma‘bud, 5/56)
5 Mengerjakan apa yang diperintahkan dan melayaninya (‘Aunul Ma‘bud, 5/56)
6 Bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena tidak ada
ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.
7 Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Mengetahui bahwasanya Nabi-Nya tidak akan
menceraikan istri-istrinya (ummahatul mukminin), akan tetapi Allah Subhanahu wa
Ta'ala mengabarkan kepada ummahatul mukminin tentang kekuasaan-Nya, bila sampai
Nabi menceraikan mereka, Dia akan menggantikan untuk beliau istri-istri yang
lebih baik daripada mereka dalam rangka menakuti-nakuti mereka. Ini merupakan
pengabaran tentang qudrah Allah , bukanrSubhanahu wa Ta'ala dan ancaman untuk
menakut-nakuti istri-istri Nabi berarti
ada orang yang lebih baik daripada shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
(Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/126) dan bukan berarti istri-istri beliau tidak
baik bahkan mereka adalah sebaik-baik wanita. Al-Qurthubi rahimahullah berkata:
“Permasalahan ini dibawa kepada pendapat yang mengatakan bahwa penggantian
istri dalam ayat ini merupakan janji dari Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk
Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, seandainya beliau menceraikan mereka di
dunia Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menikahkan beliau di akhirat dengan
wanita-wanita yang lebih baik daripada mereka.” (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an,
18/127)
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein
Al-Atsariyyah
Sakinah, Mengayuh Biduk, 04 - Februari - 2005, 18:43:08
www.asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar